Sejarah Perkembangan Teknologi Pendidikan
Sejarah perkembangan desain pembelajaran dan teknologi pembelajaran
merupakan hal penting yang harus diketahui oleh seseorang sebagai salah satu
bekal untuk menjadi teknolog pendidikan yang profesional. Sejarah telah
mencatat bahwa, baik desain pembelajaran maupun teknologi pembelajaran telah
mengalami perubahan dan perkembangan dari waktu ke waktu. Hal ini menunjukkan
bahwa kedua hal tersebut memegang peran yang sangat penting dalam meningkatkan
kualitas pembelajaran.
A.
SEJARAH DEFINISI TEKNOLOGI
PEMBELAJARAN
Tidak bisa
dinafikan bahwa perkembangan definisi TP yang terbaru saat ini merupakan buah
dari evolusi yang terus berlangsung dari pendefinisian sebelum-sebelumnya.
Proses evolusi ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari latar sejarah yang mengiringi
bidang keilmuan ini.
Karenanya
sebelum membahas evolusi definisi ini, menilik sekilas historikal
background TP menjadi suatu kebutuhan tersediri. Saettler (1990) mengakui
bahwa ada kesuliatan untuk mengidentifikasi sumber istilah ‘educational
technology’. Tidak jelas, siapa yang pertama menggunakan term tersebut. Sejalan
dengan sejarah dan perkembangannya, rumusan pengertian TP telah mengalami
pelbagai perubahan. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi yang memiliki
pengaruh terhadap perkembangan bidang keilmuan ini.
1.
Definisi
Association for Educational Communications Technology (AECT) 1963
Definisi
1963 ini menyebutkan “Komunikasi audio-visual adalah cabang dari teori dan
praktek pendidikan yang terutama berkepentingan dengan mendesain, dan menggunakan
pesan guna mengendalikan proses belajar. Ini meliputi kegiatan: (a)
mempelajari kelemahan dan kelebihan suatu pesan dalam proses belajar; (b)
penstrukturan dan sistematisasi oleh orang maupun instrumen dalam
lingkungan pendidikan, meliputi: perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen
dan pemanfaatan dari komponen maupun keseluruhan sistem pembelajaran.
Tujuan
praktisnya adalah pemanfaatan tiap metode dan medium komunikasi secara efektif
untuk membantu pengembangan potensi pembelajar secara maksimal.” Menurut Januszewski dan Persichitte, pada
definisi ini terdapat tiga peralihan konseptual utama yang memberikan
kontribusi pada formulasi pelbagai pengertian TP sebagai suatu teori: 1)
Penggunaan konsep “proses” daripada konsep “produk”; 2) penggunaan istilah
“pesan” dan “instrumentasi media” daripada “bahan” dan “mesin”; dan 3)
pengenalan pada bagian-bagian teori belajar dan teori komunikasi.
2. Definisi Commission on Instruction Technology (CIT) 1970
Dalam
pengertian yang lebih umum, teknologi pembelajaran diartikan sebagai media yang
lahir sebagai akibat revolusi komunikasi yang dapat digunakan untuk keperluan
pembelajaran di samping guru, buku teks, dan papan tulis…..bagian yang
membentuk teknologi pembelajaran adalah televisi, film, OHP, komputer dan
bagian perangkat keras maupun lunak lainnya…”
“Teknologi Pembelajaran merupakan usaha
sistematik dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi keseluruhan proses
belajar dan pembelajaran untuk pelbagai tujuan khusus, yang didasarkan
pada penelitian tentang proses belajar dan komunikasi manusia, dan
menggunakan kombinasi sumber manusia dan non-manusia agar pembelajaran dapat
berlangsung lebih efektif”
Ada beberapa aspek baru dalam definisi
yang terakhir. Pertama, adanya gagasan bahwa TP mesti memuat tujuan khusus. Ini
mungkin karena pengaruh pemikiran B.F. Skinner (1954) dan Robert Mager (1962)
yang diadopsi oleh para praktisi bidang ini. Kedua, adanya gagasan bahwa metode
dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan khusus tersebut mesti didasarkan
pada penelitian. Dan ketiga, adanya prase “pembelajaran yang lebih efektif”, di
mana efektifitas merupakan salah satu karakteristik teknologi.
3. Definisi Silber (1970)
Definisi ketiga yang banyak berpengaruh
adalah apa yang dibuat oleh Kenneth Silber yang kelak kemudian pernah memimpin
Komite AECT untuk definisi dan terminologi: “Teknologi Pembelajaran adalah
pengembangan (riset, desain, produksi, evaluasi, dukungan-pasokan, pemanfaatan)
komponen sistem pembelajaran (pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar)
serta pengelolaan usaha pengembangan (organisasi dan personil) secara
sistematik, dengan tujuan untuk memecahkan masalah pendidikan”.
4. Definisi MacKenzie dan Eraut
(1971)
Definisi dari Inggris ini ringkas, namun terlihat
begitu luas untuk mendeskripsikan TP secara akurat: “Teknologi Pendidikan
merupakan studi sistematik mengenai cara bagaimana tujuan pendidikan dapat
dicapai”. Definisi sebelumnya meliputi istilah, “mesin”, instrumen” atau
“media”, sedangkan dalam definisi MacKenzie dan Eraut ini
tidak menyebutkan perangkat lunak maupun perangkat keras, tetapi lebih berorientasi
pada proses.
5. Definisi AECT 1972
Pada tahun 1972, AECT berupaya merevisi definisi yang sudah ada (1963, 1970, 1971), dengan memberikan rumusan sebagai berikut: “Teknologi Pendidikan adalah suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia melalui usaha sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasian dan pemanfaatan berbagai macam sumber belajar serta dengan pengelolaan atas keseluruhan proses tersebut”.
Definisi ini menunjukkan bahwa TP merupakan proses sistematis dalam mengembangkan dan memanfaatkan pelbagai sumber pembelajaran. Gagasan ini diambil dari definisi 1963, 1970, dan 1971, dan nantinya banyak peran yang sama masuk dan diadopsi oleh definisi 1994 seperti pengembangan, pengorganisasian pengelolaan, dan pemanfaatan.
6. Definisi AECT 1977
Definisi ini secara resmi sepanjang enam halaman, dan ini versi pendeknya: “Teknologi pendidikan adalah proses kompleks yang terintegrasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana, dan organisasi untuk menganalisis masalah, merancang, melaksanakan, menilai dan mengelola pemecahan masalah dalam segala aspek belajar pada manusia”.
Definisi tahun 1977, AECT berusaha mengidentifikasi TP sebagai suatu teori, bidang dan profesi. Definisi sebelumnya, kecuali pada tahun 1963, tidak menekankan teknologi pendidikan sebagai suatu teori.
7. Definisi AECT (1994)
AECT kemudian merevisi definisi 1977 dengan rumusan berikut: “Teknologi Pembelajaran adalah teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta evaluasi tentang proses dan sumber untuk belajar.”
Meski dirumuskan dalam kalimat yang lebih sederhana, definisi ini sesungguhnya mengandung makna yang dalam. Definisi ini berupaya semakin memperkokoh teknologi pembelajaran sebagai suatu bidang dan profesi, yang tentunya perlu didukung oleh landasan teori dan praktek yang kokoh. Definisi ini juga berusaha menyempurnakan wilayah atau kawasan bidang kegiatan dari teknologi pembelajaran. Di samping itu, definisi ini berusaha menekankan pentingnya proses dan produk.
8. Definisi AECT (2004)
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang pendidikan, psikologi dan komunikasi-informasi, TP sebagai bidang ilmu juga semakin berkembang. Demikian pula dengan definisinya juga mengalami perbaikan. Hal itu juga tidak dapat dilepaskan dari evaluasi dan kritik terhadap definisi 1994.
Kritik utama yang ditujukan pada definisi 1994 adalah bahwa TP tampak terlalu berpendakatan sistem dalam mengembangkan pembelajaran dan itu terlalu membatasi mainstrem guru, administrator sekolah, peneliti dan juga para sarjana TP. Karenanya, definisi 1994 direvisi dengan definisi 2004 sebagaimana dirumuskan berikut ini: “Studi dan praktik yang berlandaskan etika dalam menfasilitasi belajar dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan, penggunaan, dan pengelolaan pelbagai proses dan sumber teknologi yang tepat”
9. Definisi
AECT
(2008)
TP adalah studi dan praktek etis
dalam upaya memfasilitasi pembelajaran dengan cara menciptakan, memanfaatkan,
mengelola proses dan sumber-sumber teknologi.
B.
SEJARAH
MEDIA PEMBELAJARAN
Media pembelajaran
digambarkan sebagai alat/sarana fisik yang digunakan untuk menyampaikan “pesan”
kepada peserta didik (Reiser & Gagne, 1983). Termasuk pengiriman pembelajaran
dari instruktur hidup (ex: guru), buku, komputer dan sebagainya. Namun, dalam
diskusi sebagian besar sejarah media pembelajaran, tiga sarana utama instruksi
sebelum abad ke-20 (dan masih merupakan cara paling umum saat ini) yaitu guru,
papan tulis, dan buku teks dikategorikan secara terpisah dari media lain (ef.
Komisi Instructional Technology, 1970). Dalam bahasan ini, media pembelajaran
akan didefinisikan sebagai sarana fisik, selain guru, papan tulis, dan buku
teks, yang disajikan kepada peserta didik.
1. Museum sekolah
Di Amerika
Serikat, penggunaan media untuk tujuan pembelajaran telah berkembeng sejak awal
dekade pertama abad ke-20(Saettler, 1990). Pada waktu telah ada sebuah museum
sekolah yang menjabat sebagai pusat unit administrasi untuk pembelajaran visual
yang menyediakan protabel pameran, stereograf, slide, film, bahan belajar
cetak, grafik dan bahan ajara lainnya. Museum sekolah pertama dibuka di St
Louis pada tahun 1905, dan tidak lama kemudian, museum sekolah dibuka di
Reading, Pennsylvania, dan Cleveland, Ohio.
Saettler
(1990) menyatakan bahwa bahan yang disimpan di museum sekolah dipandang sebagai
bahan pelengkap kurikulum, bukan untuk menggantikan guru atau buku teks.
Sepanjang seratus tahun terakhir, pandangan awal tentang peran media
pembelajaran tetap lazim di komunitas pendidikan pada umumnya. Artinya, banyak
pendidik telah melihat media pembelajaran sebagai sarana pelengkap dalam
menyajikan pembelajaran. Sedangkan guru dan buku teks dipandang sebagai sarana
utama menyajikan pembelajaran.
2. Gerakan PembelajaranVisual dan Film Pembelajaran
Saettler
(1990) mengindikasikan bahwa, di awal abad ke-20, kebanyakan media yang
disimpan di museum sekolah merupakan media visual, seperti film, slide, dan
foto. Jadi pada saat itu, meningkatnya minat dalam menggunakan media di sekolah
disebut sebagai “pembelajaran visual” atau “pendidikan visual” gerakan. Istilah
“pendidikan visual” digunakan pada tahun 1908.
Di Amerika
Serikat, katalog pertama film pembelajaran diterbitkan pada 1910. Pada tahun
1913, Thomas Edison menyatakan, “Buku akan segera menjadi usang di
sekolah-sekolah …. Ada kemungkinan untuk mengajar dengan film. System sekolah
kita akan berubah pada sepuluh tahun ke depan” (Dikutip dalam Saettler,, 1968
hlm 98).
Sepuluh
tahun setelah Edison membuat perkiraannya, apa yang ia ramalkan belum terjadi.
Namun, selama dekade ini (1914-1923), gerakan pembelajaran visual mulai
berkembang. Lima organisasi profesional nasional untuk pembelajaran visual
didirikan, lima jurnal berfokus pada pembelajaran visual mulai diterbitkan,
lebih dari dua puluh lembaga pelatihan guru mulai menawarkan program dalam pembelajaran
visual. (Saettler , 1990).
3. Gerakan Audiovisual Instruksi dan
Radio Instruksional
Pada akhir
tahun 1920-an dan sepanjang tahun 1930-an, kemajuan teknologi di berbagai
bidang seperti siaran radio, rekaman suara, dan gambar gerak suara yang menyebabkan
meningkatnya minat dalam media pembelajaran. Dengan munculnya media yang menggabungkan
suara dan gerakan, berdampak pada
perluasan visual yang dikenal sebagai gerakan pembelajaran audiovisual (Finn,
1972; Mc. Cluskey, 1981). Namun, Mc. Cluskey (1981), yang merupakan salah satu
pemimpin dalam bidang ini, menunjukkan bahwa pada umumnya komunitas pendidikan
tidak sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan tersebut.
Terlepas
dari efek ekonomi yang merugikan, audiovisual dalam gerakan konstruksi terus
berkembang. Menurut Saettler (1990), salah satu peristiwa penting dalam evolusi
ini adalah penggabungan pada tahun 1932 dari tiga organisasi profesional
nasional yang ada ke dalam pembelajaran visual. Sehingga, kepemimpinan dalam
gerakan itu dikonsolidasikan dalam satu organisasi, yaitu Departemen Pembelajaran
Visual, yang merupakan bagian dari National Education Association. Organisasi
ini terus berkiprah di bidang desain pembelajaran dalam waktu yang cukup lama.
Selama
tahun 1920-an dan 1930-an, sejumlah buku tentang pembelajaran visual mulai ditulis.
Salah satunya adalah buku yang berjudul Visualisasi Kurikulum, yang ditulis
oleh Charles F. Hoban, Sr, Charles F. Hoban, Jr, dan Stanley B. Zissman (1937).
Dalam buku ini, penulis menyatakan bahwa nilai materi audiovisual adalah fungsi
derajat realisme. Pada tahun 1946, Edgar Dale menjabarkan idenya yang terkenal
“Pengalaman Cone.” Sepanjang sejarah audiovisual dalam gerakan konstruksi, dapat
diketahui bahwa komponen dasar audiovisual adalah kemampuan untuk menyajikan
konsep-konsep secara konkret (Saettler, 1990).
Media yang
mendapat perhatian besar selama periode ini adalah radio. Pada awal 1930-an,
penggemar audiovisual banyak yang mengelu-elukan radio sebagai media yang akan
merevolusi pendidikan. Namun, bertentangan dengan prediksi, selama dua puluh
tahun berikutnya radio memiliki sedikit dampak pada praktek pembelajaran (Kuba,
1986).
4. Perang Dunia II
Dengan
terjadinya Perang Dunia II, pertumbuhan gerakan audiovisual di sekolah-sekolah
melambat, namun perangkat audiovisual digunakan secara luas dalam pelayanan
militer dan dalam industri. Misalnya selama perang, Angkatan Darat dan Angkatan
Udara Amerika Serikat menghasilkan film pelatihan lebih dari 400 dan 600
filmstrips, dan selama periode dua tahun (dari pertengahan 1943 sampai
pertengahan 1945), diperkirakan bahwa lebih dari empat juta pertunjukan film
pelatihan untuk personel militer AS. Penggunaan media ini dipandang cukup
efektif (Saettler, 1990).
Selama
perang, film-film pelatihan juga memainkan peran penting dalam mempersiapkan
warga sipil di Amerika Serikat untuk bekerja dalam bidang industri. Pada tahun
1941, pemerintah federal membentuk Divisi Visual Aids untuk Pelatihan Perang.
Dari tahun 1941 sampai 1945, organisasi ini mengawasi produksi film 457
pelatihan. Kebanyakan direksi pelatihan melaporkan bahwa film mengurangi waktu
pelatihan tanpa memiliki dampak negatif pada efektivitas pelatihan dan bahwa
film lebih menarik dan menghasilkan absensi kurang dari program pelatihan
tradisional (Saettler, 1990).
Selain
film-film pelatihan dan proyektor film, berbagai bahan dan peralatan
audiovisual lainnya juga digunakan dalam militer dan bidang industri selama
Perang Dunia II. Perangkat yang digunakan secara luas termasuk proyektor
overhead, yang pertama kali dihasilkan selama perang; proyektor slide, yang
digunakan dalam mengajar pengakuan pesawat dan kapal: peralatan audio, yang
digunakan dalam mengajar bahasa asing: dan simulator dan perangkat pelatihan,
yang digunakan dalam pelatihan penerbangan (Olsen & Bass, 1982 Saettler,
1990).
5. Penelitian Pengembangan dan Media Pasca
Perang Dunia II
Perangkat
audiovisual yang digunakan selama Perang Dunia II pada umumnya dianggap berhasil
dalam membantu Amerika Serikat memecahkan masalah utama pelatihan: bagaimana
melatih individu dengan latar belakang beragam secara efektif dan efisien. Sehingga
setelah perang Dunia II, ada minat baru dalam menggunakan perangkat audiovisual
di sekolah-sekolah (Finn. 1972: Olsen & Bass, 1982).
Pasca Perang
Dunia II, program penelitian audiovisual terkonsentrasi untuk mengidentifikasi
prinsip-prinsip belajar yang dapat digunakan dalam desain audiovisual. Sebagian
besar penelitian media yang dilakukan selama bertahun-tahun berusaha membandingkan
hasil belajar siswa setelah menerima pelajaran yang disajikan melalui media
tertentu, seperti film, televisi, radio, atau komputer. Penelitian jenis ini,
disebut studi perbandingan media, biasanya mengungkapkan bahwa siswa belajar
sama baiknya terlepas dari sarana presentasi (Clark, 1983, 1994; Schramm,
1977). Mengingat temuan ini, kritikus penelitian menyarankan bahwa fokus penelitian
harus berubah. Beberapa berpendapat bahwa peneliti harus fokus pada atribut
(karakteristik) media (Levie & Dickie, 1973), yang lain menyarankan
pemeriksaan bagaimana media mempengaruhi pembelajaran (Kozma, 1991, 1994), dan
yang lainnya telah menyarankan bahwa fokus penelitian harus pada metode
pengajaran, bukan pada media yang digunakan (Clark, 1983, 1994).
6. Teori Komunikasi
Selama
awal 1950-an, banyak pemimpin dalam gerakan pembelajaran audiovisual tertarik
pada berbagai teori atau model komunikasi, seperti model yang diajukan oleh
Shannon dan Weaver (1949). Model ini berfokus pada proses komunikasi, yang
melibatkan pengirim dan penerima pesan, serta saluran atau media unutuk
mengirim pesan. Para penulis model ini menunjukkan bahwa selama perencanaan
untuk komunikasi, maka perlu untuk mempertimbangkan semua unsur dari proses
komunikasi dan tidak hanya fokus pada media.
Berlo
(1963) menyatakan, “Sebagai orang komunikasi saya harus berpendapat kuat bahwa
komunikasi adalah proses yang sentral sedangkan media meskipun penting, adalah hal sekunder.” Beberapa pemimpin dalam gerakan audiovisual,
seperti Dale (1953) dan Finn (1954), juga menekankan pentingnya proses
komunikasi.
7. Televisi Pembelajaran
Faktor penting
yang mempengaruhi gerakan audiovisual pada 1950-an adalah meningkatnya minat terhadap
televisi sebagai media pembelajaran. Pada tahun 1950-an terjadi pertumbuhan
yang luar biasa dalam penggunaan televisi pembelajaran. Pertumbuhan ini
dirangsang oleh dua faktor utama. Salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan
televisi pembelajaran adalah keputusan tahun 1952 oleh Komisi Komunikasi
Federal untuk menyisihkan 242 saluran televisi untuk tujuan pendidikan.
Pada tahun 1955, ada tujuh belas
stasiun seperti di Amerika Serikat, dan pada tahun 1960, jumlah itu meningkat
menjadi lebih dari lima puluh (Blakely, 1979). Salah satu misi utama dari
stasiun-stasiun ini adalah presentasi dari program pembelajaran.
Pertumbuhan
televisi pembelajaran selama tahun 1950 juga dirangsang oleh dana yang
disediakan oleh Ford Foundation. Diperkirakan bahwa selama tahun 1950-an dan 1960-an,
yayasan dan lembaga menghabiskan lebih dari $ 170.000.000 untuk televisi
pendidikan (Gordon, 1970).
Pada
pertengahan 1960-an, penggunaan televisi untuk tujuan pembelajaran mulai
berkurang. Proyek-proyek televisi pembelajaran yang dikembangkan selama periode
ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1963, Ford Foundation memutuskan untuk
memfokuskan dukungan pada televisi publik secara umum, daripada aplikasi televisi
pembelajaran di sekolah (Blakely, 1979). Walaupun pemrograman pembelajaran
masih merupakan bagian penting dari misi televisi publik, tapi misi yang
sekarang lebih luas, meliputi jenis lain pemrograman, seperti presentasi budaya
dan informasi (Hezel, 1980). Dalam perkembangan ini, pada tahun 1967, Komisi
Carnegie di Televisi Pendidikan menyimpulkan:
Peran yang
dimainkan dalam pendidikan formal oleh televisi pembelajaran dalam ruang lingkup
yang kecil … tidak ada yang mendekati potensi sesungguhnya dari televisi
pembelajaran yang direalisasikan dalam praktek …. Dengan pengecualian kecil,
hilangnya televisi pembelajaran tidak akan meninggalkan perubahan sistem
pendidikan fundamental.
8. Pergeseran Terminologi
Pada awal
1970-an, istilah teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran mulai
menggantikan pembelajaran audiovisual sebagai istilah yang digunakan untuk
menggambarkan aplikasi media untuk tujuan pembelajaran. Sebagai contoh, pada tahun
1970, nama organisasi profesional utama dalam bidang itu diubah dari Departemen
Pembelajaran Audiovisual kepada Asosiasi untuk Komunikasi dan Teknologi
Pendidikan (AECT). Kemudian, nama dari jurnal yang diterbitkan oleh AECT juga
berubah: Tinjauan Komunikasi Audiovisual menjadi Komunikasi Pendidikan dan
Jurnal Teknologi, dan Pembelajaran Audiovisual menjadi Inovator Pembelajaran.
Selain itu, kelompok yang dibentuk pemerintah AS untuk memeriksa dampak media pembelajaran
disebut Komisi Instructional Technology.
Terlepas
dari terminologi, sebagian besar individu di lapangan sepakat bahwa sampai saat
itu, media pembelajaran telah memiliki dampak minimal pada praktek-praktek
pendidikan (Komisi Instructional Technology, 1970; Kuba, 1986)
9. Komputer: Dari tahun 1950 sampai
1995
Setelah
minat di televisi pembelajaran memudar, inovasi teknologi berikutnya untuk
menangkap perhatian sejumlah besar pendidik adalah komputer. Karya awal pembelajaran
dengan bantuan computer (CAI) dilakukan pada tahun 1950 oleh peneliti di IBM,
yang mengembangkan bahasa CAI untuk digunakan di sekolah-sekolah umum. Pelopor
lain di bidang ini termasuk Gordon Pask, yang mengembangkan mesin mengajar
memanfaatkan teknologi komputer (Lewis & Pask, 1965; Pask, 1960; Stolorow
& Davis, 1965), dan Richard Atkinson dan Patrick Suppes, yang bekerja
selama tahun 1960 dan menghasilkan beberapa aplikasi CAI di sekolah publik dan
tingkat universitas (Atkinson & Hansen, 1966; Suppes & Macken, 1978).
Upaya besar lain selama 1960-an dan awal 1970-an termasuk pengembangan sistem
CAI seperti PLATO dan TICCIT. Namun pada akhir 1970-an, CAI masih mempunyai
dampak yang sangat sedikit pada pendidikan (Pagliaro, 1983).
Pada awal
1980-an, beberapa tahun setelah mikrokomputer tersedia untuk masyarakat umum,
antusiasme terhadap alat ini menyebabkan meningkatnya minat dalam menggunakan
komputer untuk tujuan pembelajaran. Pada Januari 1983, komputer digunakan untuk
tujuan pembelajaran di lebih dari 40% dari semua sekolah dasar dan lebih dari
75% dari semua sekolah menengah di Amerika Serikat (Pusat Organisasi Sosial
Sekolah, 1983).
Meskipun
komputer akhirnya dapat memiliki dampak besar pada praktek pembelajaran di
sekolah, pada pertengahan 1990-an dampaknya mulai menurun. Survei mengungkapkan
bahwa pada tahun 1995, meskipun sekolah-sekolah di Amerika Serikat memiliki
rata-rata satu komputer untuk sembilan siswa, dampak komputer pada praktek
pembelajaran sangat minim.
10. Perkembangan terbaru
Sejak
tahun 1995, terjadi kemajuan pesat dalam komputer dan teknologi digital
lainnya. Sebagai contoh, sebuah survei terbaru dari lebih dari 750 perusahaan
pelatihan industri (Bassi & Van Buren, 1999) mengungkapkan bahwa persentase
dari pelatihan yang disampaikan melalui teknologi baru seperti CD-ROM,
intranet, dan internet meningkat dari kurang dari 6% di tahun 1996 menjadi
lebih dari 9% pada tahun 1997 dan diperkirakan akan meningkat menjadi lebih
dari 22% pada tahun 2000. Survei lain baru-baru ini melaporkan bahwa pada tahun
1999, 14% dari semua pelatihan formal disampaikan melalui komputer (“Industri
Laporan 1999″, 1999).
Sejak
tahun 1995, ada juga peningkatan yang signifikan dalam jumlah teknologi yang
tersedia di sekolah-sekolah di Amerika Serikat. Sebagai contoh, hasil survei
nasional 1998 (Anderson & Ronnkvist, 1999) mengungkapkan bahwa pada tahun
1995 rata-rata ada satu komputer untuk setiap sembilan siswa, pada tahun 1998
rasio tersebut telah dikurangi menjadi satu komputer untuk setiap enam siswa.
Selain itu, persentase sekolah yang memiliki akses Internet meningkat dari 50%
pada 1995 menjadi 90% pada tahun 1998. Namun, sebagaimana telah terjadi
sepanjang sejarah media pembelajaran, peningkatan kehadiran teknologi di
sekolah-sekolah tidak selalu berarti peningkatan penggunaan teknologi untuk
tujuan pembelajaran.
Terlepas
dari ketidakpastian tentang sejauh mana penggunaan media di sekolah, sebagian
besar bukti menunjukkan bahwa sejak tahun 1995, telah terjadi peningkatan yang
signifikan dalam penggunaan media pembelajaran dalam berbagai pengaturan, mulai
dari bisnis dan industri untuk pendidikan militer dan lain sebagainya. Dalam
bisnis, industri, dan militer, Internet telah dilihat sebagai sarana memberikan
pembelajaran dan informasi untuk pelajar dengan biaya yang relatif rendah.
Selain itu, dalam banyak kasus, komputer memungkinkan peserta didik untuk
menerima dukungan pembelajaran kapan dan di mana mereka membutuhkannya.
Dalam
pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh melalui Internet telah dilihat sebagai
metode rendah biaya menyediakan instruksi untuk siswa yang, karena berbagai
faktor (misalnya, pekerjaan dan tanggung jawab keluarga jarak geografis.),
Tidak mungkin sebaliknya telah mampu menerimanya. Namun, pertanyaan tentang
efektivitas-biaya dari instruksi tersebut masih belum terjawab (Hawkridge. 1999).
C.
SEJARAH
DESAIN PEMBELAJARAN
Seperti
disebutkan sebelumnya, selain erat kaitannya dengan media pembelajaran, bidang
desain dan teknologi pembelajaran juga berhubungan erat dengan penggunaan
sistematis prosedur desain pembelajaran.
1. Asal Usul Desain Pembelajaran:
Perang Dunia II
Asal-usul
prosedur desain pembelajaran telah ditelusuri pada Perang Dunia II (Dick,
1987). Selama perang, sejumlah besar psikolog dan pendidik yang memiliki
pelatihan dan pengalaman dalam melakukan penelitian eksperimental dipanggil
untuk melakukan penelitian dan mengembangkan bahan pelatihan untuk layanan
militer. Individu-individu ini, termasuk Robert Gagne. Leslie Briggs, John
Flanagan, dan banyak lainnya, memberikan pengaruh yang cukup besar pada
karakteristik bahan-bahan pelatihan yang dikembangkan, umumnya mereka mendasarkan
pekerjaan pada prinsip-prinsip pembelajaran yang berasal dari penelitian dan
teori pembelajaran, belajar, dan perilaku manusia (Baker, 1973; Saettler, 1990).
Selain
itu, para psikolog menggunakan pengetahuan mereka tentang evaluasi dan
pengujian untuk membantu menilai keterampilan peserta pelatihan dan memilih
orang yang paling mungkin bermanfaat dari program pelatihan tertentu.
Setelah
perang, psikolog yang bertanggung jawab atas keberhasilan program pelatihan
Dunia II Perang militer terus bekerja pada pemecahan masalah pembelajaran.
Organisasi seperti Institut Amerika didirikan untuk tujuan ini. Selama 1940-an
dan sepanjang 1950-an, psikolog yang bekerja untuk organisasi tersebut mulai
melihat pelatihan sebagai suatu sistem, dan mengembangkan sejumlah analisis
yang inovatif, desain, dan prosedur evaluasi (Dick, 1987). Sebagai contoh.
selama periode ini, tugas metodologi analisis rinci dikembangkan oleh Robert B.
Miller sementara ia bekerja pada proyek-proyek untuk militer (Miller. 1953.
1962). Pekerjaannya dan orang-orang dari pionir awal lain di bidang desain pembelajaran
dirangkum dalam Prinsip Psikologis dalam Sistem Dei’elopmenr, diedit oleh Gagne
(1962b).
2. Awal Perkembangan: Gerakan Pembelajaran
Terprogram
Gerakan pembelajaran
terprogram yang berlangsung mulai dari pertengahan tahun 1950-an sampai
pertengahan 1960-an, terbukti menjadi faktor utama dalam pengembangan
pendekatan sistem. Pada tahun 1954, pasal BF Skinner berjudul Ilmu dan Seni
Belajar Mengajar memulai sebuah revolusi kecil dalam bidang pendidikan. Dalam
artikel ini, Skinner menggambarkan ide-idenya tentang meningkatnya persyaratan
untuk belajar dan karakteristik yang diinginkan dari bahan pembelajaran yang
efektif. Skinner menyatakan bahwa bahan pembelajaran terprogram, harus
menyajikan pembelajaran dalam langkah-langkah kecil, memerlukan respon aktif
untuk pertanyaan yang sering dipertanyakan, memberikan umpan balik segera, dan
memungkinkan pelajar untuk mondar-mandir.
3. Penyebaran Tujuan Perilaku
Sebagaimana
telah ditunjukkan sebelumnya, mereka terlibat dalam merancang bahan
pembelajaran terprogram sering kali memulai dengan mengidentifikasi tujuan yang
akan dicapai oleh peserta didik. Pada tahun 1962, Robert Mager mengenali
kebutuhan para pendidik untuk mengajar. Bahasan ini menjelaskan bagaimana untuk
menulis tujuan yang mencakup deskripsi perilaku peserta didik, kondisi di mana
perilaku harus dilakukan, dan standar (kriteria) penilaian perilaku. Dan
sekarang, para pendesain pembelajaran menganjurkan persiapan tujuan yang
mengandung ketiga unsur tersebut.
Meskipun
Mager mempopulerkan penggunaan tujuan, konsep itu dibahas dan digunakan oleh
pendidik setidaknya selama awal 1900-an. Di antara pendukung awal penggunaan
tujuan adalah Bobbitt, Charters, dan Burk (Gagne, 1965a). Namun, Ralph Tyler
sering dianggap sebagai bapak dari gerakan tujuan perilaku. Selama studi
Delapan Tahun yang terkenal yang diarahkan oleh Tyler ditemukan bahwa sekolah telah
menetapkan tujuan, dan tujuan tersebut biasanya cukup jelas. Pada akhir proyek,
ditunjukkan bahwa tujuan bisa berfungsi sebagai dasar untuk mengevaluasi
efektivitas pembelajaran (Borich, 1980; Tyler, 1975a).
Pada tahun
1950, tujuan perilaku diberi dorongan lain ketika Benjamin Bloom dan
rekan-rekannya menerbitkan Taksonomi Tujuan Pendidikan (1956). Para penulis
dari karya ini menunjukkan bahwa dalam domain kognitif ada berbagai jenis hasil
belajar, bahwa tujuan dapat diklasifikasikan menurut jenis perilaku peserta
didik yang dijelaskan di dalamnya, dan bahwa ada hubungan hirarki antara
berbagai jenis hasil. Selain itu, mereka menunjukkan bahwa tes harus dirancang
untuk mengukur masing-masing jenis hasil.
4. Kriteria-Referensi Gerakan Pengujian
Pada awal
1960-an, faktor lain yang penting dalam pengembangan proses desain pembelajaran
adalah munculnya kriteria-referensi pengujian. Sampai saat itu, tes yang paling
mengacu pada tes norma, dirancang untuk menyebarkan kinerja peserta didik,
sehingga ada siswa mengikuti tes dengan baik dan siswa lain melakukan dengan buruk.
Tes yang mengacu pada kriteria ini dimaksudkan untuk mengukur seberapa baik
seorang individu dapat melakukan perilaku tertentu atau seperangkat perilaku,
terlepas dari bagaimana orang lain juga melakukan.
Pada awal 1932, Tyler telah
menunjukkan bahwa tes bisa digunakan untuk tujuan tersebut (Dale. 1967). Dan
kemudian, Flanagan (1951) dan Ehel (1962) mendiskusikan perbedaan antara tes
tersebut dan ukuran norma. Namun, Robert Glaser (1963:. Glaser & Klaus
1962) adalah orang pertama yang menggunakan istilah kriteria. Dalam membahas
langkah-langkah tersebut. Glaser (1963) menunjukkan bahwa tes tersebut dapat
digunakan untuk menilai perilaku siswa dan untuk menentukan sejauh mana siswa
telah memperoleh perilaku dari program pembelajaran yang dirancang untuk
mengajar.
5. Robert M. Gagne: Domain Belajar, Peristiwa Pembelajaran, dan
Analisis Hirarkis
Peristiwa
penting lainnya dalam sejarah desain pembelajaran terjadi pada tahun 1965,
dengan penerbitan edisi pertama The Conclirions off Belajar, yang ditulis oleh
Robert Gagne (I965b). Dalam buku ini, Gagne menggambarkan lima domain, atau
jenis hasil pembelajaran dan informasi verbal, keterampilan intelektual,
keterampilan psikomotor, sikap, dan strategi kognitif, yang membutuhkan kondisi
berbeda untuk meningkatkan pembelajaran. Gagne juga memberikan deskripsi rinci
dari kondisi-kondisi untuk setiap jenis hasil pembelajaran.
Dalam
volume yang sama, Gagne juga menggambarkan peristiwa pembelajaran sebagai
landasan praktek desain pembelajaran. Karya Gagne di bidang hierarki belajar
dan hirarkis analisis juga memiliki dampak yang signifikan pada bidang desain
pembelajaran. Pada awal 1960-an (misalnya, Gagne, 1962a, 1985; Gagne, Briggs,
& Wager, 1992; Gagne & Medsker, 1996), Gagne menunjukkan bahwa
keterampilan dalam domain keterampilan intelektual memiliki hubungan hirarkis
masing-masing: agar mudah belajar melakukan keterampilan super ordinate, yang
pertama harus menguasai keterampilan bawahan untuk itu. Konsep ini mengarah
pada gagasan penting yang harus dirancang untuk memastikan bahwa peserta didik
memperoleh keterampilan bawahan sebelum mereka mencoba untuk memperoleh yang
lebih tinggi. Gagne melanjutkan untuk menggambarkan proses analisis hirarkis
untuk mengidentifikasi keterampilan bawahan. Proses ini tetap merupakan fitur kunci
dalam banyak model desain pembelajaran.
6. Sputnik: Peluncuran Evaluasi
Formatif
Pada tahun
1957, ketika Uni Soviet meluncurkan Sputnik, satelit yang mengorbit ruang
pertama, serangkaian acara akhirnya berdampak besar pada proses desain
pembelajaran. Pemerintah AS, terkejut oleh keberhasilan upaya Soviet, kemudian menanggapi
dengan menuangkan jutaan dolar untuk memperbaiki matematika dan pendidikan
sains di Amerika Serikat. Bahan-bahan pembelajaran yang dikembangkan dengan
dana ini biasanya ditulis materi pelajarannnya dan diproduksi tanpa seleksi.
Bertahun-tahun kemudian, pada pertengahan-I960-an, ditemukan bahwa banyak dari
bahan-bahan ini tidak terlalu efektif. Michael Scriven (1967) menunjukkan
perlunya untuk mencoba rancangan materi pembelajaran dengan peserta didik
sebelum bahan dimasukkan ke dalam bentuk akhir. Proses ini akan memungkinkan
pendidik untuk memeriksa bahan dan jika perlu serta merevisinya. Pengujian ini
meliputi evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
Meskipun
istilah evaluasi formatif dan evaluasi sumatif diciptakan oleh Scriven, namun perbedaan
antara pendekatan sebelumnya dibuat oleh Lee Cronbach (1963). Selain itu,
selama 1940-an dan 1950-an, sejumlah pendidik, seperti Arthur Lumsdaine, Mark
Mei dan CR Carpenter, menjelaskan prosedur untuk mengevaluasi bahan pengajaran
yang masih dalam tahap pembentukan (Cambre, 1981). Situasi ini agak berubah
pada 1950-an dan 1960-an melalui banyak bahan pengajaran terprogram yang
dikembangkan selama periode yang diuji ketika mereka sedang dikembangkan.
Namun. penulis seperti Susan Markle (1967) mencela kurangnya ketelitian dalam proses
pengujian.
7. Permulaan Model Desain Pembelajaran
Pada awal dan pertengahan 1960-an,
konsep-konsep yang sedang dikembangkan di berbagai bidang seperti analisis
tugas, spesifikasi tujuan, dan kriteria-referensi pengujian dihubungkan untuk
membentuk sebuah proses atau model guna mendesain materi pembelajaran. Orang pertama
yang menggambarkan model seperti itu adalah Gagne (1962b), Glaser (1962-1965.),
dan Silvem (1964). Mereka menggunakan istilah-istilah seperti desain
pembelajaran, pengembangan sistem, pembelajaran yang sistematis, dan sistem
pembelajaran untuk menggambarkan model yang mereka ciptakan. Model desain
pembelajaran lainnya yang diciptakan dan digunakan selama dekade ini termasuk
yang dijelaskan oleh Banathy (1968), Barson (1967), dan Hamerus (1968).
8. Tahun 1970: Kepentingan yang berkembang dalam Desain Pembelajaran
Selama
tahun 1970, jumlah model desain pembelajaran sangat meningkat. Banyak orang
menciptakan model baru untuk secara sistematis merancang pembelajaran (misalnya,
Dick & Carey, 1978; Gagne & Briggs, 1974; Gerlach & Ely, 1971;
Kemp, 1971). Selama tahun 1970-an, minat dalam proses desain pembelajaran
berkembang dalam berbagai sektor yang berbeda.
Pada tahun
1975, beberapa cabang militer AS mengadopsi model desain pembelajaran (Branson
dkk., 1975) untuk memandu pengembangan bahan pelatihan dalam berbagai cabang.
Di bidang akademisi, banyak pusat peningkatan pengajaran diciptakan selama
dengan maksud untuk membantu penggunaan media fakultas dan prosedur desain
pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pengajaran mereka (Gaff. 1975;
Gustafson & Bratton, 1984). Selain itu, program pascasarjana dalam desain
pembelajaran banyak diciptakan (Partridge & Tennyson, 1979; Redfield &
Dick, 1984;.. Silber 1982). Negara-negara internasional seperti Korea Selatan,
Liberia, dan Indonesia, melihat manfaat menggunakan desain pembelajaran untuk
memecahkan masalah pembelajaran di negara-negaranya (Chadwick. 1986; Morgan,
1989).
9. Tahun 1980-an: Pertumbuhan dan
Pengalihan
Dalam
banyak sektor, kepentingan dalam desain pembelajaran yang terus tumbuh selama
tahun 1980. Kepentingan dalam proses desain pembelajaran tetap kuat dalam bisnis
dan industri (Bowsher, 1989; Galagan 1989), dalam militer (Chevalier, 1990;
Finch, 1987; Mc. Combs, 1986), dan di arena internasional (Ely & Plomp,
1986; Morgan 1989).
Berbeda
dengan pengaruhnya di sektor tersebut, selama tahun 1980, desain pembelajaran
memiliki dampak minimal di daerah lain. Dalam arena sekolah umum, upaya
pengembangan kurikulum melibatkan penggunaan dasar proses desain pembelajaran
(misalnya, Spady, 1988), dan beberapa buku desain pembelajaran bagi para guru
yang diproduksi (misalnya, Dick & Reiser, 1989: Gerlach & Ely, 1980;
Sullivan & Higgins, 1983). Namun, terlepas dari upaya ini, bukti menunjukkan
bahwa desain pembelajaran mengalami dampak kecil pada pembelajaran di sekolah
umum dan dalam pendidikan tinggi (Branson & Grow, 1987; Burkman, 1987b;
Rossett & Garbosky, 1987).
Peningkatan
pengajaran di pendidikan tinggi berkembang pada pertengahan 1970-an. Pada tahun
1983 lebih dari seperempat dari organisasi tersebut telah dibubarkan, dan ada
kecenderungan penurunan umum dalam anggaran pusat yang tersisa (Gustafson &
Bratton, 1984). Burkman (1987a, 1987b) memberikan analisis mengapa upaya desain
pembelajaran di sekolah dan universitas belum berhasil, dan kondisi ini kontras
dengan kondisi yang ada di bisnis dan militer.
Selama
tahun 1980, tumbuh prinsip-prinsip psikologi kognitif yang dapat diterapkan dalam
proses desain pembelajaran. Namun, beberapa tokoh di lapangan telah menunjukkan
bahwa efek sebenarnya psikologi kognitif pada praktek desain pembelajaran
selama dekade ini agak kecil (Dick, 1987; Gustafson, 1993).
Faktor
yang tidak memiliki efek besar pada praktek desain pembelajaran pada tahun 1980
adalah meningkatnya minat dalam penggunaan mikrokomputer untuk tujuan
pembelajaran. Dengan munculnya perangkat ini, banyak profesional di bidang
desain pembelajaran mengalihkan perhatian mereka untuk memproduksi pembelajaran
berbasis komputer (Dick, 1987; Shrock, 1995). Selain itu, komputer mulai
digunakan sebagai alat untuk mengotomatisasi beberapa tugas desain pembelajaran
(Merrill & Li. 1989).
10. Tahun 1990-an: Views Mengubah dan
Praktek
Selama
tahun 1990-an, berbagai perkembangan memiliki dampak yang signifikan terhadap
prinsip-prinsip desain pembelajaran dan praktek. Sebagaimana ditunjukkan di
atas, salah satu pengaruh utama adalah teknologi kinerja gerakan yang
memperluas lingkup bidang desain pembelajaran. Sebagai hasil dari gerakan ini,
banyak desainer pembelajaran mulai lebih berhati-hati melakukan analisis
tentang penyebab masalah kinerja, dan seringkali menemukan bahwa pelatihan buruk,
atau kurangnya pelatihan, bukan penyebab masalah tersebut.
Faktor
lain yang mempengaruhi selama 1990-an adalah masukan yang berasal dari
konstruktivisme. Prinsip-prinsip pembelajaran yang terkait dengan
konstruktivisme meliputi kebutuhan untuk (a) memecahkan masalah yang kompleks
dan realistis, (b) bekerja sama untuk memecahkan masalah tersebut, (c)
memeriksa masalah dari berbagai perspektif, (d) mengambil kepemilikan dari
proses pembelajaran dan (e) menyadari akan peran mereka dalam proses konstruksi
pengetahuan (Driscoll. 2000). Selama dekade terakhir, pandangan konstruktivis
pembelajaran dan pengajaran telah berdampak pada pikiran dan tindakan dari
banyak teoretisi dan praktisi di bidang desain pembelajaran. Sebagai contoh,
penekanan pada merancang konstruktivis “otentik:”. belajar tugas-tugas yang
mencerminkan kompleksitas dari lingkungan dunia nyata di mana peserta didik
akan ia menggunakan keterampilan yang mereka pelajari -memiliki efek pada
bagaimana desain pembelajaran yang sedang dilakukan dan diajarkan (Dick. 1996).
Meskipun beberapa berpendapat “tradisional” mengatakan bahwa praktek desain
pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis yang beberapa tahun terakhir
telah banyak menggambarkan bagaimana pertimbangan prinsip-prinsip konstruksi
dapat meningkatkan instruksional desain praktek.
Manajemen
pengetahuan adalah salah satu tren terbaru yang telah mempengaruhi bidang
desain pembelajaran. Menurut Rossett (1999), manajemen pengetahuan meliputi:
mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan menyebarkan pengetahuan eksplisit dan
tacit dalam suatu organisasi dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi
tersebut. Namun, saat ini teknologi seperti program database, groupware, dan
intranet memungkinkan organisasi untuk “mengelola” (yaitu, mengumpulkan,
menyaring, dan menyebarkan) pengetahuan dan keahlian dalam cara-cara yang
sebelumnya tidak mungkin.
D.
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PEMBELAJARAN MENURUT METODE BERBAGAI
AHLI
1.
Metode Kaum Sofi
Para ahli pendidikan memendang bahwa kaum Sofi dari Yunani
merupakan merupakan kaum teknologi pembelajaran yang pertama. Mereka
menyampaikan pembelajaran dengan bernagai teknik. Proses pembelajaran yang
dialkukannya masih tergolong konvensional, yaitu dengan cara menyampaikan
materi untuk kemudian mereka perdebatkan atau diskusikan.
2.
Metode Socrates
Menurut teori/metode pembelajaran yang dikemukakan oleh
Socrates, bentuk pembelajaran lebih banyak dalam bentuk berfilsafat, metode
yang digunakan disebut dengan Meutik atau menguraikan yang sekarang dikenal
dengan istilah metode inkuiri. Pelaksanaan metode ini adalah dengan memberikan
berbagai pertanyaan yang bertujuan untuk membimbing siswa menemukan atau
merumuskan konsep dari suatu materi pembelajaran. Jadi, dalam metode ini, guru
berperan sbagai fasilitator. Sementara yang aktif dalam proses pembalajaran
adalah siswa.
3.
Metode Abelard
Metode Abelard berlangsung pada masa pemerintahan karel Agung
di Eropa. Dalam proses pembelajarannya, dikemukakan sebuah masalah dan
dicari/dibentuk kelompok pro dan kelompok yang kontra. Mereka berdebat sampai
akhirnya menemukan kesimpulan sendiri. Guru hanya mengarahkan dan tidak
memberikan jawaban.
4.
Metode Lancaster
Metoda Lancerter
ini dalam bentuk sistem Monitoring yang merupakan bentuk pengajaran
yang unik, meliputi pengorganisasian kelas, materi pelajaran sesuai dengan
rencanannya yang meningkat dan dikelola secara ekonomis. Lancaster mempelajari
konstruksi kelas kusus yang dapat mendayagunakan secara efektif penggunaan
media pengajaran dan pengelompokan siswa. Dalam sistem pengajaran Lacaster,
pemakaian media pengajaran masih sederhana. Seperti penggunaan pasir dalam
melatih siswa menulis.
5.
Metode Pestalozi
Pengamatan pada
alam merupakan landasan utama dari proses daktiknya. Menurut Pestalozi pengetahuan
bermula dari adanya pengamatan, dan pengamatan menimbulkan pengertian, selanjutnya
pengertian yang baru itu menimbulkan pengertian yang selanjutnya pengertiaan
tersebut bergabung dengan yang lama untuk menjadi sebuah pengetahuan. Dan dapat
dikatakan bahwa perintisan ke arah pendayagunaan perangkat keras atau hardware
sebenarnya telah dimulai pada masa Pestazoli ini, seperti penciptaan papan aritmatik
yang terbagi dalam kotak-kotak yang di setiap kotaknya diberi garis-garis yang
secara keseluruhan berjumlah 100 kotak kecil. Selain itu, Pestalozi juga
menciptakan stylabaries untuk melatih siswanya dalam mempelajri angka, bentuk,
posisi dan warna disain.
6.
Metode Freobel
Metode Froebel
didasarkan kepada metodologi dan pandangan filsafafnya yang mengatakan bahwa
pendidkan masa kanak-kanak merupakan hal paling penting untuk keseluruhan
kehidupnnya. Karena itulah Froebel mendikrikan Kindergarten atau yang lebih
dikenal dengan Taman Kanak-kanak. Metoda pengajaran Kindergarten dari Froebel
meliputi kegiatan berikut:
a.
Bermain dan bernyanyi
b.
Membentuk dengan melakukan kegiatan.
c.
Grift dan Occupation.
7.
Metode Friendrich Herbart
Pada praktek
pendidikan Herbert terlihat adanya pengaruh Freobert terutama pada aspek
pengembangan moral sebagai tujuan utama pendidikan. Metoda pembelajarannya
didasarkan kepada ilmu jiwa yang sistematis. Dengan demikian, siswa secara
pikologis dibentuk oleh gagasan yang datang dari luar.
8.
Metode Pengajaran Thorndike
Teori belajar ini menyatakan bahwa
“Pada hakekatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus
dan respon dan belajar lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus
segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike
disebut juga dengan koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya
belajar merupakan proses pembentukkan hubungan antara stimulus dan respon.
Hukum belajar yang ditetapkan oleh
Thorndike melahirkan prinsip-prinsip dasar yang menjurus kepada TP, antara
lain:
a. Hukum
latihan dan pengulangan, semakin sering suatu stimulus diulangi maka akan
semakin diingat oleh siswa.
b. Hukum efek, suatu
respon akan menjadi kuat apabila diikuti oleh rasa gembira.
c. Hukum respon
berganda.
9.
Metode Pengajaran John Dewey
Konsep belajar menurut John Dewey adalah bahwa belajar
merupakan interaksi antara stimulus dan respon secara timbal-balik, dan
hubungan dua arah antara belajar dan lingkungan. Metode ilmiah teori John Dewey
yang sangat berperan bagi TP adalah metode berfikir reflektif dalam memecahkan
masalah.
10. Metode
pengajaran Kurt Lewin
Kontribusi terpenting dari teori Lewin kepada TP adalah
teori medan kognitif dalam belajar. Teori itu menggambarkan bagaimana seseorang
belajar dan memperoleh pemahaman tentang lingkungannya, serta bagaimana ia
menyesuaikan diri dengan lingkungannya tersebut. Belaja menurut teori ini
dipandang sebagai pemecahan masalah dalam hidup dan kehidupan.
11. Teori
Pembelajaran B.F. Skinner
Asumsi dari teori ini adalah bahwa
perubahan perilaku merupakan fungsi dari kondisi atau peristiwa lingkungan.
Tokoh teori ini salah satunya adalah B.F.Skinner. Menurut Skinner dalam Surya
(2003) bahwa respon individu tidak hanya terjadi karena adanya rangsangan dari
lingkungan, akan tetapi dapat juga terjadi kaerna sesuatu di lingkungan yang
tidak diketahui atau tidak disadari. Menurut Skinner bahwa unsur terpenting
dalam belajar adalah penguatan (reinforcement).
Penguatan tersbut terbagi menjadi dua
yaitu bentuk penguatan yang bersifat positif dan negatif. Penguatan yang
bersifat positif dapat berupa hadiah atau penghargaan (reward),
sedangkan yang berupa penguatan negatif antara lain menunda atau tidak
memberikan penghargaan (punishment), misalnya dengan memberikan tugas tambahan.
Prinsip-prinsip belajar yang banyak digunakan
pada teori ini menurut Harley dan Davis dalam Sagala (2010) adalah:
a. Proses
belajar dapat terjadi dengan baik apabila siswa ikut terlibat secara aktif di dalamnya;
b. Materi
pelajaran diberikan dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur sedemikian rupa sehingga
hanya perlu diberikan suatu respon tertentu saja;
c. Setiap
respon perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga siswa dapat dengan
segera mengetahui apakah respon yang diberikan betul atau tidak;
d. Perlu
diberikan penguatan setiap kali siswa memberikan respon baik itu postif ataupun
negative. Penguatan yang bersifat positif akan lebih baik karena dapat memberikan
pengalaman yang menyenangkan bagi siswa, sehingga ia ingin mengulang kembali
respons yang telah diberikan.
Teori
belajar Skinner ini banyak diterapkan dalam bidang pendidikan formal terutama dalam
penetapan model pembelajaran dan teknologi pembelajaran. Memilih rangsangan dan
memberikan peneguhan adalah merupakan unsur utama dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran
di kelas siswa perlu mendapat perhatian terutama dalam aspek perbedaan individual,
kesiapan untuk pembelajaran, dan pemberian motivasi (Mohamma Surya: 2003,h 44).
Program
pembelajaran yang terkenal dari Skinner adalah “program Instruction” yaitu
suatu bahan belajar yang menggunakan media dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran
berprogram ini bahan ajar disajikan dalam bentuk unit-unit kecil yang diberikan
ilustrasi dan pertanyaan, tujuannya adalah untuk memberikan umpan balik dengan
segera terhadap aktivitas belajar siswa. Program Instruction yang
dikembangkan Skinner ini menjadi cikal bakal berkembangnya program pembelajaran
berbasis computer model tutorial, drill, games, dan simulasi.
DAFTAR RUJUKAN
Nana Sudjana dan Ahamad Rifai.
Teknologi Pembelajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo. 2003.
Reiser Robert A. Trends and Issues in Instruction Design and
Technology. Jersey: Lesson Edition, Inc. 2002.
Seels
Barbara B dan Richey Rita C. Teknology Pembelajaran. Washington DC: AECT
(Diterjemahkan oleh Prof. Hj. Elisna)
Syaiful
Sagala. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar